• Home
  • Berita
  • Isu Pencabutan Izin Bagaikan 'Momok' Bagi Pekerja PT. RAPP di Pulau Padang

Isu Pencabutan Izin Bagaikan 'Momok' Bagi Pekerja PT. RAPP di Pulau Padang

Sabtu, 14 Oktober 2017 00:21
BAGIKAN:
SELATPANJANG - Isu pencabutan izin bagaikan momok bagi warga di Pulau Padang yang selama ini menggantungkan hidup dari PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Mereka meminta pemerintah mempertimbangkan kelangsungan hidup orang banyak. Dengan berhentinya beroperasi PT RAPP, sudah dipastikan sangat banyak warga tak lagi punya penghasilan. Sementara ketersediaan pekerjaan di lapangan atau di daerah tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat.

Namun, harapan untuk terus bekerja belum ada kepastian. PT RAPP belum boleh melakukan penanaman (baru) pohon akasia yang membuat ratusan warga tak bisa bekerja. 

Keberadaan PT RAPP untuk dapat menjalankan kegiatan operasionalnya lagi sangat diharapkan masyarakat banyak, terutama bagi masyarakat yang berada di wilayah konsesinya.

Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) terbesar se Asia Tenggara ini memiliki banyak wilayah konsesi, termasuk di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Propinsi Riau.

Selama ini PT RAPP telah menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat dua kecamatan yang berdekatan yakni Kecamatan Merbau dan Tasik Putripuyu.

Pasalnya hampir separuh dari masyarakat desa, seperti Desa Tanjung Padang, Desa Lukit, Dedap, Mekar Delima, Kudap, Bandul, dan desa lainnya menjadi petani, karyawan dan mitra usaha di perusahan milik Sukanto Tanoto ini.

Menjelang wacana itu, operasional perusahan yang mempunyai nilai investasi Rp500 miliar itu pun sudah menghentikan operasionalnya sejak 2016 lalu.

Karena terhambat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Hal ini sangat disayangkan berbagai pihak. Bahkan sempat menjadi keresahan bagi masyarakat yang bergantung hidup dari perusahaan tersebut.

Tidak hanya itu masyarakat yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan pun ikut terimbas, karena mereka merupakan bagian dari penerima bantuan program Community Development PT RAPP.

Ratusan warga setempat sebelumnya bekerja di PT RAPP. Mereka tersebar di empat titik lokasi nurseri. Baik di Sei Hiu (akasia dan karet), Sei Kuat nurseri akasia dan Tanjung Gambar nurseri karet. Rata-rata pekerja nurseri akasia mencapai 150 orang, sedangkan nurseri karet sekitar 40 hingga 50 orang.

Namun, operasional PT RAPP mulai berhenti sejak tanggal 21 November 2016. Sejak itu pula, warga dari dusun-dusun di konsesi PT RAPP mulai mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga. Ketersediaan pekerjaan di daerah yang tak mampu menjawab kebutuhan memaksa warga untuk bekerja di Malaysia.

Memang sebelum ada PT RAPP banyak warga menyadap karet. Namun, untuk saat ini harga karet tidak seperti dulu. Harga karet sudah sering anjlok. Satu kilogram karet tidak bisa lagi untuk membeli satu kilogram beras.

Seperti diakui Ketua Koperasi Karya Bersama Izwan, bahwa banyak warga yang harus bekerja ke negeri jiran karena rendahnya penghasilan yang didapatkan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Kalau dulu kerja karet harganya masih tinggi, sekarang harga karet empat sampai enam ribu rupiah perkilogram, satu kilo karet tidak dapat untuk sekilo beras," ujar Izwan.

Diakui laki-laki penyedia jasa rental speedboat dan mobil saat RAPP beroperasi itu, dulu warga bisa mendapat penghasilan 2 hingga 3 juta rupiah perbulan. Namun sejak setahun belakangan, operasional PT RAPP dihentikan, tak sedikit warga kehilangan pekerjaan.

"Dulu anggota kita ramai. Speed rental 9 unit sekarang tinggal empat unit. Pekerja nurseri kita banyak keluar daerah, di kampung tak ada kerja juga," cerita Izwan.

Hal sama juga dirasakan Sutrisno dari Koperasi Kudap Lestari. Ia menyedia jasa transportasi speedboat 6 sebanyak unit sejak 2010. Namun sekarang semuanya tidak lagi beroperasi. Tak sedikit pula anggotanya kehilangan pekerjaan.

Begitu juga dengan CDO Pulau Padang Yandi Masnur, ketika ditanya tentang program CD menjelaskan, sejak 2011 hingga 2016, dana yang dikucurkan perusahaan lebih Rp20 miliar.

Beberapa program CD yang rutin disalurkan antara lain program sistem pertanian terpadu, pendidikan dan talent pool, UMKM, program keagamaan, pelatihan ustadz, khatib, imam dan program pembangunan infrastruktur (pembangunan jalan sepanjang 12 KM). Selain itu, ada juga program CD pelatihan keterampilan bagi kaum ibu seperti menjahit dan membatik, program kesehatan (sunatan massal, sosialisasi, gosok gigi, dan cuci tangan) dan gotong-royong.

"Program CD itu di luar program beasiswa Instiper Jogja dan Akademi Teknologi PULP dan Kertas Bandung," tambah Yandi.

Untuk di Pulau Padang saja, sejauh ini, sudah 14 orang mendapat beasiswa ikatan dinas (kuliah). 6 diantaranya sudah selesai dan bekerja dengan perusahaan. Mereka adalah Muthammimah CDO Pulau Padang, M Effendi di Pelalawan, Arif Marta Saputra di Mandau, Noriah di Kerinci, Sri Nia Sari di Kerinci, Nusaibah di Tanoto Fondation. "Mereka asli anak Pulau Padang Kepulauan Meranti," kata Yandri.

Selain itu, beberapa warga yang membentuk kelompok tani juga merasa manfaat dari PT RAPP. Mereka diberi indukan sapi (jantan dan betina) sehingga bisa diternak dan sudah menghasilkan.

Sementara itu, Manajer RAPP Estate Pulau Padang Sumardi Harahap, menjelaskan, akibat tidak beroperasinya perusahaan, pihaknya juga melakukan pengurangan pekerja.

"Sebelumnya, dari 117 karyawan tetap PT RAPP, sekarang tinggal 98 orang. Sedangkan dari karyawan kontraktor yang semula berjumlah 398 orang berkurang menjadi 61 orang," ujar Sumardi.*
BAGIKAN:
KOMENTAR